Sistem Zonasi Sekolah Terbukti Carut-marut, Protes Masyarakat Mulai Bermunculan

Oleh Riani Amanatillah


Pemberlakuan sistem zonasi sekolah pada tahun lalu, yang langsung diresahkan masyarakat, benar-benar terasa carut-marutnya setelah satu tahun berlangsung. Pada hari Kamis, 20 Juni 2019, misalnya, massa menggelar aksi di depan Balai Kota Surabaya. Mereka kecewa akan sistem ini karena anak-anak mereka yang cerdas terancam bersekolah di sekolah swasta. Mereka menuntut untuk bertemu Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini pada pukul 21.00 WIB. Presiden Jokowi pun mengakui bahwasanya banyak masalah terkait sistem ini di lapangan. Ia meminta Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy untuk mengevaluasi sistem ini (https://news.detik.com/berita/4594296/kecewa-sistem-zonasi-massa-aksi-di-depan-kantor-risma-malam-malam). Presiden Jokowi bahkan mengalami sendiri protes orang tua murid mengenai masalah sistem zonasi. Hal itu terjadi usai Jokowi menghadiri akad nikah putri dari Rais Am Pemimpin Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Miftachul Akhyar di area Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya, pada Kamis 20 Juni 2019. Saat Jokowi hendak memasuki mobil, dari arah warga terdengar teriakan pria yang mengeluhkan sistem zonasi jenjang SMP tahun ini karena anaknya tidak dapat bersekolah di sekolah negeri (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190620145751-20-404988/jokowi-diteriaki-hapus-sistem-zonasi-sekolah-di-surabaya).
            Berdasarkan fakta tersebut, kerugian yang paling dirasakan masyarakat atas berlakunya sistem zonasi adalah terabaikannya hak untuk memperoleh pendidikan. Hak yang dimaksud di sini cakupannya luas, misalnya hak untuk masuk ke sekolah yang akreditasinya baik, hak untuk memperoleh pelajaran dari guru-guru yang berkualitas, hak untuk dinamis memilih sekolah dengan jarak yang diinginkan siswa, dan hak untuk masuk ke sekolah yang kurikulumnya khusus menekuni suatu bidang. Pemenuhan hak-hak ini tidak terpenuhi karena pemerintah menyamaratakan kebutuhan masyarakat dan berdalih ingin menghilangkan stigma sekolah favorit dan tidak favorit serta menyebarkan anak-anak pintar di seluruh sekolah.
Jika dicermati, akar masalah sistem zonasi adalah tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan hanya untuk memperoleh keahlian individu dan kepuasan intelektual—yang pada akhirnya digunakan sebagai alat untuk memenuhi persaingan bisnis bagi segelintir pemilik modal, bukan rakyat apalagi negara—demi memperoleh penghasilan, tidak heran apabila praktik pendidikan di masyarakat berjalan semrawut akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyampingkan konsekuensi-konsekuensi buruk.
Berbeda dengan tujuan pendidikan saat ini, di dalam Islam, mencari ilmu ditujukan untuk beribadah dan mencari hidayah Allah SWT. Karena ditujukan untuk beribadah, mencari ilmu menjadi wajib, dan tidak memenuhi hak-hak masyarakat dalam hal tersebut menjadi bentuk kezaliman pemerintah. Karena tujuan ibadah itu pula, pelaksanaan pendidikan di dalam Islam akan menjadi baik dan teratur dari segi kualitas guru, fasilitas pendidikan, dan kurikulum. Bahkan, pendidikan pun menjadi gratis.
Karena pendidikan sangat penting di dalam Islam, orang-orang yang mencari ilmu memiliki keutamaan. Di dalam satu hadits, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan untuknya jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat menaungi dengan sayapnya karena ridha kepada orang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang menuntut ilmu dimohonkan ampun baginya oleh penghuni langit dan bumi hingga ikan-ikan di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas orang yang beribadah (tetapi tidak ‘alim) adalah seperti bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambilnya, berarti ia telah mengambil bagian yang banyak sekali” (H. R. Ibnu Majah).

Komentar

Postingan Populer

Pengunjung

Flag Counter